Senin, 09 April 2018

PENTING ,UPAYA EFISIENSI DALAM PELAYANAN PERIZINAN

KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) MELALUI PENDEKATAN SISTEM 0 Disusun Oleh : RONY MOHAMAD RIZAL
PENDAHULUAN Dalam tulisan ini penulis kemukakan ikhwal pendekatan sistem sebagai alat dalam mengoperasikan kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, suatu alat yang pada hakekatnya bukan sesuatu yang baru. Pendekatan-pendekatan terpadu tidak lain adalah pendekatan sistem, namun di dalam pelaksanaannya ada jalur-jalur penghubung yang lepas dari pemeran kebijakan. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan pada suatu komponen yang dilaksanakan tidak dapat segera diketahui dampaknya terhadap komponen-komponen yang lain. Jadi kalau kita lihat, dapat dikatakan secara umum bahwa pemeran kebijakan pada suatu komponen memerlukan indikator-indikator dari para pemeran kebijakan yang lain dalam waktu yang relatif cepat untuk dapat melakukan perubahan-perubahan kebijakan jangka pendek kalau perlu perubahan atau kebijakan jangka panjang jika ternyata terdapat penyimpangan yang mendasar. Seperti kita ketahui bersama bahwa penanaman modal (investasi) sangat vital bagi pertumbuhan dan percepatan pembangunan ekonomi di suatu negara. Modal tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk memulihkan perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Demikian juga di Indonesia. Paska kebijakan desentralisasi tahun 1999, banyak sekali pemerintah daerah yang bereksperiman dan berinovasi dengan mengembangkan berbagai pola pelayanan perijinan dan investasi. Namun demikian, terdapat banyak kendala untuk dapat menggali modal dari para penanam modal (investor). Secara umum kendala tersebut dapat diinventarisir antara lain: 1. Regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan akomodatif sehingga cenderung membingungkan penanam modal dan calon penanam modal; 2. Pelayanan perizinan yang tidak bisa diprediksi, lambat, dan tidak transparan. 3. Kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang belum memadai dan belum bisa diprediksi; 4. Belum adanya jaminan terhadap kepastian hukum terhadap kontrak-kontrak yang telah disepakati pengusaha, terutama yang terkait dengan perusahaan asing; 5. Peranan perbankan nasional dalam menyalurkan kredit ke sektor riil belum berfungsi secara normal; 6. Pelaksanaan otonomi daerah belum memiliki arah yang jelas dan cenderung menciptakan pemerintahan baru di tingkat yang lebih rendah. Dari kendala-kendala di atas, pelayanan perizinan merupakan kendala yang paling kasat mata. Studi yang pernah dilakukan Bank Dunia menunjukkan Birokrasi Indonesia sangat rumit yang dimulai dari prosedur untuk memulai penanaman modal baru, pengurusan perizinan, pertanahan, ekspor-impor, sampai dengan pengurusan pembayaran pajak. Untuk memulai suatu usaha di Indonesia membutuhkan 12 prosedur yang memakan waktu 97 hari dengan biaya 86,7% dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Dibandingkan negara-negara tetangga, Thailand misalnya, hanya butuh 8 prosedur yang memakan waktu hanya 33 hari dan biaya hanya 5,8% dari pendapatan per kapita. Sedangkan Malaysia hanya membutuhkan sembilan prosedur, 30 hari dan 19,7% pendapatan per kapita untuk memulai usaha. Birokrasi dengan prosedur dan dokumen yang rumit ini pada akhirnya berakibat pada waktu yang terbuang dan biaya yang besar. Untungnya, Pemerintah tampaknya telah melakukan langkah-langkah untuk mengatasi kendala itu dengan membuat kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu/PTSP atau One Stop Service (OSS) sebagai salah satu usaha menarik penanam modal menanamkan modalnya di Indonesia. Kajian ini dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk kebijakan yang ideal dalam membangun Pelayanan Terpadu Satu Pintu tersebut menggunakan metode pendekatan sistem dengan: 1. Mendeskripsikan kebijakan nasional terkait dengan pelayanan terpadu satu pintu; 2. Mendeskripsikan kebijakan daerah terkait dengan pelayanan terpadu satu pintu; 3. Menganalisis kondisi yang ada untuk kemudian dibuat rekomendasi berupa kebijakan dan pelaksanaan pelayanan satu pintu yang ideal. KEBIJAKAN PTSP DI TINGKAT NASIONAL Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bidang penanaman modal merupakan kebijakan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Dalam Undang-Undang tersebut, PTSP diartikan sebagai kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Pengertian ini berbeda dengan pengertian ”pelayanan terpadu satu atap”. Dalam Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pengertian ”pelayanan terpadu satu atap” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan ”pelayanan satu pintu” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. PTSP di tingkat pusat dilakukan oleh lembaga yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian dari lembaga yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat, propinsi atau kabupaten/kota. Lembaga yang dimaksud disini adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, maupun antar Pemerintah Daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan oleh BKPM. Dalam melaksanakan PTSP, BKPM harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan. Dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 di atas, pada tingkat nasional telah terdapat “payung” bagi pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu. Hal yang berkaitan dengan apa itu pelayanan terpadu satu pintu, tujuan pembentukannya, kelembagaannya, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah diatur lebih tegas. Ketegasan ini dapat menciptakan kepastian bagi aparat pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan tugasnya, kepastian bagi penanam modal, dan kepastian bagi masyarakat umum. Meskipun demikian, pengaturan ”payung” tersebut tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara pelayanan terpadu satu pintu. Undang-Undang hanya mengatur pelayanan terpadu satu pintu secara umum dan memerintahkan penyusunan Peraturan Presiden untuk mengatur tata cara dan pelaksanaannya. Sampai saat ini Peraturan Presiden dimaksud belum diterbitkan. Penyusunan Peraturaran Presiden tersebut penting karena selain akan berlaku secara nasional, juga digunakan oleh daerah dalam membuat peraturan daerah bidang penanaman modal. Sementara itu praktek pelayanan terpadu satu pintu saat ini menggunakan dasar hukum: 1. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang. 5. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. 6. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. 7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dalam praktek, penyusunan peraturan pelaksanaan dari peraturan “payung” tidak selalu lebih mudah daripada membuat “payung”nya. Penyusun peraturan harus memperhatikan berbagai kepentingan sektor-sektor dan peraturan perundang-undangan terkait. Penyusun harus memahami peraturan perundang-undangan antara lain: 1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 4. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 5. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. KENDALA DALAM PEMBENTUKAN PTSP Dalam mengatur tata kerja, penyusun Peraturan Presiden mungkin akan dihadapkan pada benturan kepentingan berbagai pihak sebagaimana terjadi ketika mulai diberlakukan Keppres 29 Tahun 2004. Ketika itu beberapa instansi terkait enggan untuk melimpahkan atau berkoordinasi dengan BKPM dalam melayani perizinan kepada penanam modal. Seringkali di Indonesia kewenangan perizinan dianggap sebagai “profit center” yang mesti dipertahankan oleh suatu instansi. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan keengganan tersebut. Bentuk organisasi juga dapat menjadi ganjalan terlaksananya PTSP. Apakah organisasi tersebut akan dibangun : 1. Sebagai unit promosi dan informasi penanaman modal, 2. Sebagai sekretariat/koordinator yang mendistribusikan tugas ke dinas-dinas ke instansi terkait, atau 3. Sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mengeluarkan izin bagi penanaman modal. Masih berkaitan dengan bentuk organisasi adalah masalah keanggotaan. Apabila yang diambil pilihan pertama dan kedua, maka tidak terlalu menjadi masalah. Keanggotaan wakil dari instansi terkait di Pelayanan Terpadu Satu Pintu bisa sebagai “liason officer” atau “officer on call”. Tetapi apabila pilihan ketiga yang dipilih, maka institusi terkait harus memberikan pelimpahan wewenang kepada lembaga PTSP. Pelaksanaan kebijakan pelayanan terpadu satu pintu di daerah masih berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pemerintah daerah hendaknya juga mengetahui pengaturan pelayanan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Meskipun keempat peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikatakan sejalan, dengan menggunakan dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, maka pembuatan kebijakan dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu menjadi lebih kuat. Namun demikian, berkaitan dengan bentuk kelembagaan pelayanan penanaman modal, muncul kebingungan pemerintah daerah terhadap berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah ini pembentukan organisasi pelayanan satu pintu bukan merupakan keharusan. Dalam Pasal 47 diatur bahwa untuk membentuk unit pelayanan terpadu digunakan kata ”dapat” yang artinya dapat dibentuk, tetapi boleh juga tidak dibentuk. Personal atau pegawainya merupakan gabungan unsur-unsur perangkat daerah berbagai sektor. Pasal tersebut berbunyi: ”Pasal 47 1) Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu. 2) Unit pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan. 3) Unit pelayanan terpadu didukung oleh sebuah sekretariat sebagai bagian dari perangkat daerah.” Terhadap keberadaan PTSP terdapat dua kelompok tanggapan. Kelompok pertama adalah yang mendukung keberadaan pelayanan ini. Kelompok ini melihat pada respon yang baik dari masyarakat maupun aparat pemerintah di beberapa kabupaten/kota terhadap keberadaan pelayanan terpadu. Contoh keberhasilan itu adalah Kabupaten Sragen yang mendapatkan penghargaan untuk mutu pelayanan terpadunya dan menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain. Kebijakan pelayanan terpadu dapat mendukung terciptanya aspek-aspek dalam good governance dan memperkecil kemungkinan terjadinya kolusi dan korupsi. Kelompok kedua adalah kelompok yang menentang keberadaan PTSP ini. Keberadaan pelayanan terpadu tidak akan berjalan efektif karena instansi hanya memindahkan orang dan tempat. Bahkan di beberapa aspek menimbulkan kerugian bagi masyarakat, misalnya yang semula letak pengurusan dekat, dengan adanya kebijakan pelayanan terpadu satu pintu pengurusannya menjadi lebih jauh. Karena tidak ada altenatif pengurusan, maka iklim kompetisi dalam memberikan pelayanan menjadi tidak ada. PEMAHAMAN TERHADAP KONSEP PENDEKATAN SISTEM Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari, 2001). Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Secara diagramatik, tahapan analisis sistem disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno 1999 dalam Hartrisari 2001) Dalam rangka menganalisis permasalahan, didasarkan pada pengertian sistem sebagai “pengorganisasian dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling menggantungkan diri antara yang satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan” (Koeswadji, 1993 : 19-20). Pengertian sistem ini digunakan sebagai kerangka berpikir karena dalam pembentukan peraturan daerah terkait dengan beberapa organisasi pemerintah seperti Kepala Daerah termasuk didalamnya Dinas-dinas Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang harus diorganisasikan sehingga membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan yakni terbentuknya peraturan daerah. Sistem merupakan suatu entitas atau suatu konsep yang merupakan himpunan dari bagian-bagian yang saling berkaitan, dipadukan kedalam suatu kesatuan yang bulat dan utuh, untuk “melakukan kegiatan transformasi atau proses merubah masukan menjadi keluaran dan dalam batas lingkup berdasarkan ruang dan waktu tertentu, berinteraksi dengan lingkungan dan dikendalikan oleh mekanisme kontrol yang mengerahkannya kepada pencapaian sasaran dan tujuan bersama” (Koeswadji, 1998 : 6). Dalam konsep ini, sasaran-sasaran yang merupakan bagian dari tujuan juga dimasukkan ke dalam konsep sistem. Oleh karena itu, lembaga pemerintah yang terlibat dalam pembentukan peraturan daerah sebaiknya memperhatikan pula sasaran-sasaran yang ingin dicapai sehubungan dengan peraturan daerah yang dibentuknya. Setelah terbentuknya suatu peraturan daerah diharapkan agar Kepala Daerah bersama dengan dinas-dinasnya melaksanakannya dengan penuh kepatuhan dan penuh rasa memiliki dan tanggung jawab yang mana perasaan ini timbul karena adanya penerapan kebulatan secara menyeluruh dalam proses terbentuknya peraturan daerah. Dalam suatu keseluruhan yang bulat dan utuh tercermin adanya saling hubungan dan saling ketergantungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah beserta Dinas-dinasnya sehingga hubungan ini tidak saja terjadi secara horizontal tetapi juga vertikal. Dengan demikian “dari sudut pendekatan sistem hubungan itu tidak semata-mata ‘otoritatif’ seperti pandangan klasik, melainkan hubungan itu terjadi secara menyeluruh dari satu bagian ke bagian lain…” (Amirin, 1996 : 39). KEBIJAKAN PTSP BERDASARKAN PENDEKATAN SISTEM Bagaimana seharusnya kebijakan pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan? Di bawah ini akan diuraikan mulai dari pembentukan, pelaksanaan, dan monitoring/evaluasi kebijakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pada pendekatan sistem. Sebelum sampai pada bagaimana membentuk pelayanan terpadu satu pintu, kiranya ada baiknya terlebih dahulu ditinjau mengenai sifat dari pelayanan terpadu itu sendiri yang dalam gambar 1 terdapat dalam kotak identifikasi sistem, sehingga memudahkan untuk melangkah ke jenjang selanjutnya yaitu pemodelan sistem. a. Pembentukan Dalam pelayanan umum dikenal adanya (1) model pelayanan pembagian dan (2) model pelayanan terpadu. Model pertama adalah model pembagian ditandai dengan pelayanan yang diberikan oleh masing-masing sektor/dinas sesuai kewenangannya. Dengan model ini masyarakat aktif mendatangi instansi yang berwenang. Apabila diperlukan beberapa izin untuk melakukan kegiatan penanaman modal, maka masyarakat mendatangi satu persatu instansi yang bersangkutan. Model pembagian ini merupakan model lama yang dijalankan di instansi pemerintah. Model kedua adalah model pelayanan terpadu. Model ini mulai diterapkan di beberapa daerah. Secara umum model ini diterapkan melalui pembentukan unit palayanan satu atap/pintu sebagai satu unit tersendiri dengan mengambil alih beban kerja pelayanan umum instansi sektoralnya, mulai dari pekerjaan administratif sampai dengan pemeriksaan substantif permohonan izin. Pada kedua model pelayanan tersebut terdapat kebaikan dan keburukan. Pada model pelayanan pembagian, pelayanan cenderung tertutup dan kurang transparan. Pada model ini masyarakat sulit memantau proses permohonan izin, biasanya tidak ada standar baku mengenai lamanya waktu pelayanan dan biayanya. Model ini kondusif bagi praktek kolusi dan korupsi. Kebaikan model ini adalah instansi pemberi izin tidak perlu berkoordinasi atau mempertimbangan instansi terkait yang lain dalam memberikan izin. Apabila aparat di dalamnya berorientasi pada pelayanan prima maka pelayanan dapat diberikan dengan cepat. Pada model terpadu, pelaksanaannya seringkali ditentang oleh instansi yang berwenang memberikan izin. Di Indonesia seringkali suatu pekerjaan dianggap sebagai tambahan penghasilan bagi aparat yang mengerjakannya. Dengan asumsi itu, apabila pekerjaan pemberian izin dialihkan unit kerja terpadu maka aparat yang bersangkutan merasa penghasilannya beralih juga. Pola terpadu ini cenderung transparan. Kebaikan dari model ini kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus izin. Disamping melayani perizinan, model pelayanan terpadu dapat dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah daerah untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan masyarakat. Melalui pelayanan terpadu dengan seluruh kelengkapannya, pengurusan perizinan usaha akan menjadi mudah dan murah yang membuat pelaku usaha terhindar dari biaya ekonomi tinggi dan waktu yang lama yang biasanya terjadi pada saat proses pengurusan izin. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui latar belakang pembentukan pelayanan terpadu sehingga kita dapat mengetahui filosofi dan latar belakang mengapa lembaga pelayanan itu dibentuk. Namun demikian, saat ini bukan waktunya untuk memilih. Pelayanan satu pintu penanaman modal berdasarkan peraturan perundang-undangan merupakan keharusan. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana memaksimalkan kinerja lembaga itu, bagi yang telah terbentuk dan membentuknya bagi yang belum membentuk. Untuk membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu perlu juga diperhatikan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pasal 41 dan pasal 42 Perpres tersebut menyebutkan: Pasal 41 (1) Dalam pelaksanaan pelayanan penanaman modal terpadu satu pintu, di lingkungan BKPM ditempatkan perwakilan secara langsung dari sektor dan daerah terkait dengan Pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak atas nama dan/atau mewakili dan/atau menjadi penghubung dari instansi sektor dan Pemerintah Daerah masing-masing. (3) Pembinaan kepegawaian Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi kewenangan instansi sektor dan Pemerintah Daerah masing-masing sebagai instansi induknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 Pejabat sebagai perwakilan secara langsung dari sektor dan daerah terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dalam melaksanakan pelayanan penanaman modal terpadu satu pintu dapat sehari-hari bertugas di lingkungan BKPM atau sewaktu-waktu apabila diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Sejalan dengan ketentuan Peraturan Presiden tersebut, di tingkat pusat pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan oleh BKPM dengan melibatkan sektor dan pemerintah daerah. Namun, daerah tidak harus mengikuti pola pelayanan yang ada di tingkat pusat. Sebagian daerah saat ini telah membentuk Kantor Pelayanan Teknis yang merupakan satuan kerja pemerintah tersendiri. Dengan keberadaan SKPD ini risiko penolakan dari sektor terkait sebab sektor akan merasa kewenangannya tidak diambil oleh sektor lain. Sebaliknya apabila lembaga pelayanan ditempelkan pada SKPMD yang telah ada (misalnya BKPMD) maka sektor-sektor akan merasa kewenangannya diambil oleh sektor lain. Kehilangan kewenangan masih dianggap sebagai hal yang tidak boleh terjadi oleh sebagian aparat pemerintah. b. Pelaksanaan Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu terutama bagi pemerintah daerah adalah ketersediaan segala sarana yang mendukung baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang meliputi: • Peraturan di daerah mengenai daftar usaha yang tertutup dan terbuka bagi penanaman modal. Peraturan ini penting karena pertama sebagai pedoman bagi aparat pemda dalam memberikan izin bagi usaha yang akan dijalankan untuk dapat membuat perda ini penyusun perda hendaknya mengacu pada Perpres 76 dan Perpres 77 karena dalam perpres tersebut diatur mengenai kriteria dan persyaratan penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal dan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal; • Peraturan di daerah mengenai penataan ruang. Peraturan tata ruang akan menjadi pegangan bagi aparat pemda dalam mempertimbangkan pemberian izin mengenai lokasi-lokasi yang dapat diberikan untuk kegiatan penanaman modal; • Peraturan di daerah mengenai lingkungan hidup dan kesehatan. Peraturan daerah mengenai lingkungan hidup dapat berguna sebagai alat pengaman dalam pemberian izin penanaman modal. Maksudnya, apabila terdapat kegiatan permohonan izin kegiatan penanaman modal berpotensi mengganggu fungsi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, maka izin itu harus ditolak. Setiap daerah memang diharapkan bisa mendatangkan modal ke wilayahnynya sebanyak-banyaknya. Namun, apabila kegiatan dalam penanaman modal tersebut membawa kerugian yang lebih besar, dalam hal ini kerusakan lingkungan hidup, maka permohonannya tetap harus ditolak dengan dasar peraturan daerah lingkungan hidup. • Peraturan yang mengatur mengenai kedudukan tugas, fungsi kewenangan dan tata kerja unit pelayanan terpadu. Dengan peraturan ini terdadapat acuan yang tegas mengenai keberadaan dari lembaga pelayanan dimaksud. • Teknologi informasi dan komunikasi sangat penting dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas unit pelayanan terpadu. Teknologi lebih memungkinkan terciptanya asas, prinsip, dan pemenuhan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Tidak boleh diremehkan adalah peran sumber daya manusia pendukung lembaga pelayanan terpadu. SDM merupakan ujung tombak dan etalase pelayanan. Image suatu organisasi pelayanan akan tergantung pada SDM-nya. Oleh karena itu SDM dalam lembaga ini harus mempunyai kompetensi yang memadai untuk melakukan tugas-tugas pelayanan. Untuk memacu komitmen dan semangat kerja, kepada SDM dapat diterapkan sistem reward and punishment. Punishment diberikan kepada SDM yang tidak mampu melaksanakan tugasnya, dan reward atau insentif diberikan kepada SDM yang menunjukkan pekerjaan yang memuaskan. c. Pemantauan dan evaluasi Untuk memastikan pelaksanaan kebijakan PTSP sudah sesuai dengan yang direncanakan, maka diperlukan pemantauan dan pengawasan secara berjenjang dan berkesinambungan terhadap pelaksanaan pekerjaan serta melakukan evaluasi guna memperbaiki pelaksanaan pekerjaan. Ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan, pemantauan dan evaluasi dalam Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 dapat digunakan sebagai acuan, misalnya: • Pengawasan terhadap proses penyelenggaraan PTSP dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. • Pengawasan atas penyelenggaraan PTSP dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah sesuai dengan tingkat urusan pemerintahan masing-masing melalui mekanisme koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. • Materi pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Pemerintah Kabupaten/Kota didasarkan pada: a. Peraturan Daerah tentang pembentukan PTSP; b. Pengintegrasian program PTSP dalam dokumen perencanaan pembangunan dan penyediaan anggarannya; c. Ketersediaan pegawai negeri sipil daerah sesuai dengan jumlah dan kualifikasi yang diperlukan; d. Ketersediaan sarana dan prasarana untuk rnendukung PTSP; dan e. Kinerja PTSP berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. • Bupati dan Walikota menyampaikan laporan secara tertulis kepada Gubernur mengenai perkembangan pembentukan PTSP, penyelenggaraan pelayanan, capaian kinerja, kendala yang dihadapi, dan pembiayaan yang disampaikan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan. • Gubernur menyampaikan laporan secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri mengenai perkembangan proses pembentukan PTSP dan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu di wilayahnya berdasarkan laporan dari Bupati/Walikota. Selain pemantauan internal seharusnya dibuka pula pemantauan eksternal oleh masyarakat melalui penerimaan pengaduan dan survey kepuasan masayarakat terhadap pelayanan yang diberikan yang sering disebut dengan indeks kepuasan masyarakat (IKM) yang akan berfungsi sebagai feedback dalam sebuah sistem. Setelah melihat uraian di atas, maka penulis mencoba membuat pemodelan sistem dalam rangka kebijakan pelayanan terpadu satu pintu seperti terlihat dalam gambar 2. Gambar 2. Model Kebijakan PTSP melalui Pendekatan Sistem PENUTUP Kebijakan sistem PTSP dapat saja sebagai alternatif perbaikan dari Sistem Pelayanan Satu Atap. Namun demikian, sistem baru ini tidak akan memberikan perubahan yang diharapkan, jika tidak dapat menunjukan adanya efisien dalam pelayanan, memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan. Untuk mewujudkan sistem pelayanan administrasi penanaman modal yang memiliki karakter demikian, salah satu strategi yang perlu dikembangkan dalam PTSP adalah melalui pembentukan Unit Pelayanan (UP) yang memiliki kewenangan khusus dalam pemberian perizinan bidang penanaman modal. UP tersebut dapat didesain dalam beberapa bentuk, antara lain: 1. Merupakan Satuan/Unit Kerja tertentu, yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan penanaman modal secara terpusat. Satuan/Unit Kerja ini memiliki kewenangan untuk memproses dan menerbitkan berbagai perizinan yang merupakan pelimpahan sebagian dari kewenangan unit-unit kerja yang melayani perizinan. 2. Merupakan Satuan/Unit Kerja yang memberikan pelayanan perizinan penanaman modal. Satuan/Unit kerja ini memiliki front line yang berfungsi untuk menerima semua permohonan perizinan penanaman modal di daerah dan back line yang memiliki hubungan kerja dengan satuan/unit kerja yang secara fungsional menerbitkan perizinan. Kedua bentuk UP tersebut dirancang untuk mengurangi jalur birokrasi dan menyederhanakan prosedur dalam pelayanan penanaman modal di daerah. Dengan demikian, diharapkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengurusan perizinan penanaman modal di daerah akan lebih cepat dan murah. Selanjutnya, terkait dengan upaya perbaikan iklim penanaman modal di daerah, pembenahan kelembagaan ini juga harus didukung oleh perbaikan dalam standar pelayanan penanaman modal, kualitas sumber daya aparatur yang menangani bidang tersebut, dan komitmen para pimpinan di daerah.