Jumat, 30 Maret 2018

LUAR BIASA MENU MAKAN BERSAPRAH DI ACARA PERKAWINAN SINGKAWANG

SINGKAWANG, KOMPAS.com – Sejak tiga hari yang lalu, tenda sepanjang 112 meter mulai didirikan di halaman belakang kantor Wali Kota Singkawang. Kain aneka warna pun dibentangkan menghias tenda tersebut. Tenda segi empat tersebut biasa digunakan oleh majelis melantunkan ayat suci Al-Quran diiringi tetabuhan rebana dalam sebuah pesta adat pernikahan. Tenda yang didirikan kali ini bukan untuk menggelar pesta pernikahan, melainkan merayakan ulang tahun Kota Singkawang. Tenda tersebut akan digunakan untuk menggelar hidangan Saprahan. Pada acara itu, sepasang muda-mudi pun dihias layaknya pengantin sungguhan, untuk menyemarakkan suasana tersebut. Memasuki usianya yang ke-12, Pemerintah Kota (pemkot) Singkawang menggelar lomba Besurong Saprah di kompleks kantor Wali, Jalan Firdaus, Singkawang, Kalimantan Barat, Kamis (17/10/2013) pagi. Masyarakat yang tinggal di pesisir utara Kalimantan Barat, begitu mendengar kata “Saprahan”, langsung mengidentikan dengan makan bersama dalam sebuah pesta, makan ala saprahan dengan setumpuk peralatan dan tata krama penyajiannya. Satu Saprah biasa terdiri dari 6 jenis masakan, mulai dari lauk ikan atau gulai ayam, kemudian sayuran, paceri nenas, dan makanan lainnya. Cara makan saprahan yaitu dengan duduk melantai, mengelilingi hidangan saprahan. Namun dewasa ini, penyajian ala saprahan dianggap kurang praktis dan tergantikan oleh prasmanan. Lomba yang digelar pun bertujuan memelihara tradisi di era globalisasi, di mana aktivitas kehidupan tidak lagi lokal merupakan tantangan berat dalam mempertahankan eksistensi nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, sekaligus juga sebagai upaya pelestarian nilai-nilai budaya tradisional. Hal ini juga tidak terlepas dari ikon Singkawang sebagai destinasi pariwisata unggulan di Kalbar. Perubahan kebudayaan akibat evolusi, difusi, dan akulturasi menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru yang secara signifikan mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam merespon perubahan budaya agar menjadi lebih praktis, efektif dan efisien dalam mensosialisasikannya dalam kehidupan. Padahal makan ala saprahan merupakan produk budaya masa lalu yang mengandung nilai-nilai kearifan dan budi pekerti tinggi dapat menciptakan iklim Bhinneka Tunggal Ika di dalam masyarakat. Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Singkawang, Syech Bandar menjelaskan, lomba Besurong Saprah kali ini merupakan yang ketiga kalinya diadakan. Bandar mengatakan, dari sisi kualitas lomba tahun ini meningkat. Peningkatannya dalam bentuk penyajian, keserasian, dan menu makanan yang dihidangkan. Bandar juga tak menampik jika budaya Melayu asal Kabupaten Sambas ini memang sudah melekat dengan Kota Singkawang. “Ini adalah budaya Sambas, tapi kita juga tidak egois dalam mempromosikan sesuatu. Jika orang ke Singkawang, kita suguhkan makanan ala Saprahan, jika ditanya darimana aslinya, ya kita jawab dari Sambas. Karena tak terlepas bahwa Kota Singkawang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kabupaten Sambas 12 tahun silam, sebelum terjadinya pemekaran wilayah,” jelas Bandar, Kamis (17/10/2013). Bandar juga menambahkan, bahwa kegiatan ini rencananya akan dibawa ke tingkat yang lebih besar mencakup tiga wilayah, yaitu Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, dan Kabupaten Bengkayang. Ketiga daerah tersebut dulu merupakan satu bagian dari Kabupaten Sambas. Di tempat terpisah, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olah Raga, Lies Indari menyebutkan, tahun ini ada 26 kelurahan di Singkawang, hanya 3 kelurahan yang tidak ikut serta tahun ini. Juri lomba berjumlah 3 orang diantaranya diambil langsung dari Sambas dan Kota Singkawang. “Juara satu hingga tiga akan dihidangkan kepada tamu VVIP seperti Wali Kota dan pejabat tinggi lainnya” ujar Lies. Lies juga menambahkan, bagaimanapun globalisasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. “Yang penting adalah bagaimana menyikapi dan memanfaatkan secara baik efek yang ditimbulkannya,” ujarnya.